EKSISTENSI INFLUENCER DAN BUZZER DALAM KOMUNIKASI POLITIK INDONESIA DI ERA DIGITAL
Dinamika
perkembangan globalisasi yang ditunjang dengan kecepatan perkembangan teknologi
informasi komunikasi telah mendisrupsi segala aspek kehidupan manusia. Menurut
Rhenald Kasali (2017), Disrupsi merupakan gelombang perubahan besar yang
terjadi tidak hanya dalam dunia bisnis namun segala aspek kehidupan tidak
terkecuali dalam bidang politik. Disrupsi memaksa semua aspek kehidupan untuk
ditata ulang sehingga dapat beradaptasi dengan perubahan cepat yang terjadi. Perubahan
yang terjadi membuat masyarakat Indonesia bergantung pada internet terutama
media sosial untuk melakukan berbagai aktivitas. Ditambah dengan adanya pandemi
Covid-19 ini yang tentunya membuat peran internet sangat dibutuhkan
untuk melakukan berbagai pekerjaan dan aktivitas atau hanya sekedar untuk killing
time.
Robert
Keohane dan Joseph Nye (2000) dalam Aminuddin (2020) menyatakan bahwa pola
pertukaran informasi, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya
berjalan faster, cheaper, and deeper. Faster, berarti bahwa
teknologi memfasilitasi penyampaian pesan atau informasi menjadi lebih
cepat. Cheaper, menandakan bahwa akses kepada informasi menjadi semakin
terjangkau dengan semakin murahnya perangkat teknologi dan pendukungnya untuk
dimiliki. Deeper, bermakna bahwa aktor yang terlibat dalam panggung
kehidupan global semakin dalam, banyak, dan meluas. Hal ini yang kemudian
membuat para pelaku politik merambah ke dalam dunia komunikasi digital dalam
penyampaian komunikasi politiknya bahkan pemerintah harus mengguyurkan dana
hampir Rp 90,45 miliar untuk Influencer.
Komunikasi
politik merupakan proses penyampaian pesan dari pelaku politik kepada
masyarakat (Anwar Arifin, 2011: 8).
Maraknya penggunaan komunikasi digital dan media
sosial dalam berbagai aktivitas masyarakat indonesia di semua range umur
akhirnya memunculkan berbagai peran baru seperti influencer yang
merupakan pemegang kendali dalam komunikasi digital. Influencer
adalah individu dalam media sosial yang memiliki peranan yang kuat untuk
mempengaruhi banyak orang. Influencer memiliki akun yang memiliki nama yang
jelas dan latar belakang yang jelas dan biasanya merupakan
selebritis atau pelaku profesi lainnya dengan jumlah follower besar dan
punya sikap atau preferensi terhadap sesuatu yang dapat mempengaruhi para
pengikutnya. Isu mengenai influencer
yang muncul belakangan ini mengenai hubungannya dengan dunia perpolitikan di
Indonesia dianggap efektif dalam memperluas jangkauan politik, khususnya dalam
komunikasi politik di era modern.
Perkembangan
komunikasi politik di era modern telat memberikan ruang pada influencer sebagai
netizen yang memiliki hak untuk menyampaikan opini dan berkomentar tentang isu
politik di Indonesia. Influencer diharapkan dapat menggiring opini
masyarakat melalui konten-konten menarik yang bisa lebih mudah dipahami
masyarakat. Influencer diharapkan mampu menjadi mediator antara
masyarakat dan pemerintah dalam menyuarakan kepentingan masyarakat. Proses kebijakan sebagai sebuah sistem
politik secara sederhana telah digambarkan oleh David Easton (1965). Proses
pengambilan keputusan atau kebijakan dipaparkan Easton dalam skema input
- process - output - feedback. Secara signifikan, influencer dapat
berperan dalam proses input dan feedback kebijakan. Namun,
disisi lain juga banyak influencer yang merambah dalam dunia politik
untuk mendapatkan keuntungan dengan menawarkan jasa kepada pelaku politik
dengan melakukan campaign online di laman media sosialnya.
Penyampaian komunikasi politik dengan bantuan influencer
dengan melakukan online campaign melalui media sosial diharapkan
lebih efektif dalam membangun aware masyarakat terutama golongan pemuda
yang notabenenya masih memiliki sikap apatisme yang tinggi terhadap isu politik
di Indonesia. Penyampaian melalui konten-konten menarik dan masih fresh akan
lebih mudah diserap masyarakat terutama pemuda. Sehingga dengan kehadiran influencer
ini bisa memberikan pengetahuan-pengetahuan mengenai isu politik yang saat ini
tengah berkembang.
Namun, seperti diketahui hal apapun di dunia ini
pasti memiliki dampak positif dan negatifnya masing-masing tak terkecuali
dengan kehadiran influencer. Banyaknya fenomena influencer yang
terjun ke dunia politik dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan telah
membuat terjadinya polarisasi politik dan menyebabkan ketidakstabilan dalam
sistem politik di Indonesia.
Menurut
Gun-Gun Heryanto dalam bukunya Problematika Komunikasi Politik, kalau
diidentifikasi dalam perspektif komunikasi politik, netizen terbagi
menjadi empat tipologi. Pertama dissemanator, biasanya
menyebar informasi harian, polanya berbagi dan terkoneksi satu sama lain dengan
tujuan agar ide, ajakan atau sikapnya diketahui dan bisa diikuti orang lain. Kedua publicst, biasanya
membangun citra positif untuk tujuan popularitas dengan kontestasi politik,
misalnya pemasaran politik melalui media sosial. Ketiga propagandist, senantiasa
mempraktikkan teknik-teknik propaganda guna kepentingan delegitimasi lawan
sekaligus memperkuat legitimasi dirinya lewat internet. Keempat hactivist,
yaitu aktivitas utamanya adalah meretas dan membobol akun, situas maupun informasi
berbasis internet lainnya
Berdasarkan
tipologi di atas, kepentingan Influencer lebih digunakan untuk
tipologi propagandis yaitu untuk memepengaruhi netizen. Hal itulah yang
menyebabkan Influencer sering dilirik oleh pihak coorporasi
maupun instansi pemerintah untuk melakukan marketing maupun kepentingan lainnya
seperti pembangunan opini publik. Dalam hal ini, ketika influencer melakukan campaign,
mereka dapat dianggap tidak lagi menyuarakan opini yang netral terhadap suatu
isu politik dan mereka juga dapat memihak suatu pelaku politik tertentu yang
akan memecah opini publik. Selain itu mereka juga bisa membentuk opini
kebencian dan juga menyebarkan berita-berita hoax untuk menjatuhkan lawan
politik, ditambah jika isu politik dikaitkan dengan isu agama di Indonesia, hal
ini akan sangat riskan jika dilontarkan dalam masyarakat. Hal ini tentunya akan
mengakibatkan perpecahan dan mengancam keutuhan bangsa kita.
Oleh
karena itu, ketika influencer yang telah memiliki peran dalam
penyebaran informasi dan terlibat dalam dunia politik harus betul-betul
mengutamakan tujuan untuk kepentingan masyarakat serta harus memiliki kredibilitas yang tinggi, baik dari
segi attitude, pengetahuan, dan tujuan agar opini atau campaign yang disampaikan
bisa berdampak positif.
Lalu
apa perbedaan Influencer dan Buzzer dalam komunikasi politik di
era digital?
Dalam perkembangan
komunikasi politik di era digital ini peran influencer tetapi kehadiran Buzzer
turut mewarnai dinamika sistem politik di Indonesia. Buzzer lebih ke
kelompok orang yang tidak jelas siapa identitasnya, lalu kemudian biasanya
memiliki motif ideologis atau motif ekonomi di belakangnya, dan kemudian
menyebarkan informasi.
Tujuan
utama para buzzer ini membuat 'kegaduhan', seperti halnya suara lebah yang
berdengung (buzzzzz.....). Cara yang mereka gunakan adalah dengan menyampaikan
serangkaian informasi berulang-ulang. Buzzer ini bisa siapa saja, karena
mereka tidak ditugaskan untuk meyakinkan para followers. Tugas mereka
hanya menyampaikan informasi sebanyak-banyaknya dan membuat
orang aware dengan informasi yang terus-menerus dibagikan tersebut.
Tak jarang, demi menyebarkan konten secara masif, seorang buzzer
melakukan cara-cara ekstrim misalnya membuat akun anonim sebanyak-banyaknya di
media sosial.
Terkiat kehadiran Buzzer di
Indonesia, dikutip dari katadata.co.id Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menilai
bahwa aktivitas para buzzer baik yang kontra maupun pendukung Presiden
Joko Widodo (Jokowi) di media sosial merugikan. Sebab, konten yang
disampaikan oleh para buzzer kerap kali berupa disinformasi.
Kehadiran Buzzer di media sosial harus ditertibkan dikarenakan
berpotensi dalam menimbulkan ketidakseimbangan politik di Indonesia. Mereka
membanjiri media sosial dengan konten-konten dengan tujuan menyebarkan
propaganda pro pemerintah atau partai politik, menyerang kampanye, mengalihkan
isu penting, polarisasi, dan menekan pihak yang berseberangan.
Kehadiran buzzer dalam komunikasi
politik Indonesia mengakibatkan terjadinya peningkatan polarisasi politik di
Indonesia. Hal terlihat dari data berikut ini:
Gambar
1
Data
pengaruh media sosial terhadap polirasasi politik di Dunia
Sumber: Ipsos MORI
Hasil
survei yang dilakukan yang dilakukan oleh CIGI dan Ipsos yang melibatkan sebanyak
25.229 responden dari 25 negara menunjukkan bahwa untuk responden dari
Indonesia sendiri sebanyak 37% responden tidak merasakan dampak apapun, 6%
responden yang merasa polarisasi politik berkurang, dan sebanyak 58% responden
di Indonesia setuju media sosial dapat meningkatkan polarisasi politik.
Keberadaan buzzer di Indonesia sendiri
digambarkan berdasarkan sasil laporan Universitas of Oxford bertajuk 'The
Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media
Manipulation". Hasil laporan tersebut menunjukkan bahwa Indonesia
disebut menempati kategori low cyber troop capacity atau pasukan siber
dengan kapasitas rendah. Para buzzer di Indonesia biasanya tidak dikontrak
secara permanen, dan dibayar antara Rp 1 - 50 juta.
Dari
pembahasan yang telah dijelaskan penulis, dapat disimpulkan bahwa kehadiran influencer
dan buzzer sebagai salah satu elemen yang ikut mewarnai dinamika politik
di Indonesia banyak memberikan dampak positif dan negatif dalam situasi perpolitikan
di Indonesia sendiri. Menurut penulis sendiri daripada pemerintah harus
mengguyurkan dana yang sangat besar dalam membayar influencer, lebih
baik dilakukan penguatan kelembagaan dari humas pemerintah dengan melakukan
transformasi peran yang harus disesuaikan dengan perkembangan teknologi.
Sehingga tujuan dalam pemberian informasi kepada publik bisa dilakukan sendiri
oleh pihak internal pemerintah.
References
https://news.detik.com/kolom/d-5164350/menempatkan-influencer-dalam-sistem-politik-era-digital
https://kumparan.com/rizkinur-rahmadina/politik-dalam-dunia-influencer-1usMcYTAE6I/full
Komentar
Posting Komentar